Featured Post

When Your Hubby Says: I Can't Live Without You

A healthy relationship can be built to perpetuate marriage and build a happy family . Say something tenderly with love quotes is one of t...

Saturday, March 15, 2008

Linda (the short story)



ANAK ITU BERNAMA PARDI

Linda kembali menatap matahari yang telah hampir tenggelam di ufuk barat. Guratan mega yang merona menerpa wajah kuyunya yang seolah kehilangan semangat hidup. Rambutnya yang dulu indah, hitam dan berkilau telah kehilangan cahayanya.

“Kak Lin, makan dulu,” Sapa seorang bocah kecil berusia 7 tahunan. Bocah laki-laki itu tidak kalah kumuh dari Linda. Linda hanya tersenyum mengangguk.

“Kamu sudah makan?” Tanya Linda.

”Sudah Kak.” jawab bocah kecil itu.

”Dari mana kamu dapat makanan ini?” tanya Linda kembali.

”Aku bantu-bantu Buk yang jualan di sana itu, terus dikasih uang. Tapi aku minta makanan saja. Kakak kan belum makan seharian.” jelas bocah berkaus oblong dengan gambar Superman itu.

Pardi namanya. Sebenarnya namanya adalah Anugerah Utomo. Nama yang diberikan oleh tukang becak yang mengantarnya ke rumah singgah, enam tahunan lalu. Tapi dia lebih suka dipanggil Pardi. Katanya lebih pantas untuknya. Entah darimana bocah itu mendapatkan inspirasi untuk mengganti namanya menjadi Pardi. Linda hanya diam tercenung. Yah... Pardi adalah satu-satunya anak binaannya yang masih setia mengikuti Linda ke mana Linda pergi. Menurut Pardi, dirinya sudah tidak punya siapa-siapa lagi, sehingga menganggap Linda sebagai kakaknya. Pardi memang mulai ikut dengan Linda dan teman-temannya sejak bayi. Pardi dibawa oleh seorang tukang becak ke rumah singgah yang dibina oleh Linda dan teman-temannya. Waktu itu Pardi masih berusia sekitar 6 atau tujuh bulanan.

Linda menatap pakaian yang dikenakan bocah itu. Dan, entah sudah berapa hari pula baju itu tidak pernah lepas dari tubuhnya. Kemudian Linda memandang tubuhnya sendiri yang juga dibalut oleh pakaian yang entah telah berapa hari tidak diganti.

Linda kemudian menatap makanan di depannya. Nasi putih, mi keriting, dan telor dadar separuh iris serta sambal terasi. Cukup menggugah seleranya. Lalu ia memandang Pardi kecil di depannya.

”Benar kamu sudah makan?” Linda kembali menegaskan.

”Benar kak. Aku tadi dikasih makan di sana. Dua kali. Siang dan sore hari. Malahan aku dibawain es teh. Nih, aku sisain buat kakak.” Jelas Pardi.

”Kalau begitu, aku makan ya.” ujar Linda dan mulai menikmati nasi bungkus di hadapannya. Sesuap demi sesuap nasi itu memasuki pelintiran usus besar dan usus duabelas jarinya yang sejak seharian dan semalam kemarin tidak kemasukan nasi. Hanya air putih yang memang disediakan oleh Pardi untuknya.

Pardi mengawasi Linda dengan senang dan kemudian merebahkan badannya di atas kardus.

”Semoga malam ini nggak hujan ya Kak.” tiba-tiba Pardi berujar.

Linda mengiyakan. Linda juga membayangkan betapa sulitnya nanti malam jika harus hujan. Keduanya terdiam. Seolah membayangkan hal yang sama.

“Kak, aku tadi ketemu sama di Herman.” kata Pardi memecah keheningan.

”O iya. Di mana?” tanya Linda.

”Di Jalan Arjuno.”

”Sedang ngapain dia?”

”Dia ketauan ngutil Kak. Ngutil uangnya tukang Bakso. Jadi dikejar-kejar sama banyak orang. Untung Herman gak ketangkep. Kalau ketangkep pasti digebukin. Dia lari ke gang sempit yang banyak pagernya itu lo” Jelas Pardi.

”Kok ngutil lagi,” Linda mendesah.

”Eh, kamu liat sendiri?” Tanya Linda menegaskan.

”Iya kak. Aku liat dia lari-lari, terus aku tanya sama orang di sana. Aku hampir disangka ikut ngutil Untung Buk nya orangnya baik, jadi bantuin aku kasih penjelasan sama orang-orang.” Jawab Pardi.

Herman, adalah juga salah satu anak binaan Linda waktu masih di Rumah Singgah. Herman memang berasal dari keluarga besar yang sangat kacau. Saudaranya ada sepuluh. Ibu dan Bapaknya mendorong Herman untuk mencari makan di Jalan dan Herman harus setor kepada orang tuanya minimal Rp. 10.000 sehari. Jika Herman tidak bawa uang sebesar yang disyaratkan maka Herman tidak boleh pulang atau kalaupun pulang Herman tidak diberi makan. Karena itu, ketika ada teman-temannya yang mengajaknya ke rumah singgah, Herman sangat senang dan bahkan dua orang adiknya yang biasa mangkal di Jalan Darmawangsa, di pojokan Rumah Sakit Dr. Soetomo, diajak ke rumah singgah pula. Mereka semua tidur di rumah singgah dan mengikuti program pendampingan di rumah singgah.

Tapi sejak, Mas Diding yang merupakan penggagas berdirinya rumah singgah menikah, rumah singgah seolah kehilangan nyawa. Padahal waktu itu masih ada Sinta, Bernardus, Nono, Nyoman, Wayan, Made, Nining, dan Irma. Tapi operasional rumah singgah seakan terhenti. Para pendamping juga mulai sering cekcok mengenai penetapan kebijakan di rumah singgah. Dan yang paling parah adalah Linda.

Linda yang merasa telah merintis rumah singgah tersebut dan menyelenggarakan operasional rumah singgah bersama-sama mas Diding seolah kehilangan sebagian nyawanya begitu mas Diding memutuskan untuk menikah. Selama merintis dan menyatukan ide berdua di rumah singgah itu, tanpa disadari Linda juga merintis harapan kepada mas Diding. Tapi harapannya pupus ketika mas Diding harus menikah dengan gadis lain.

Di tengah putus harapan yang menyakitkan itu, Linda tidak lagi ada gairah untuk menegakkan keberadaan rumah singgah yang telah dibinanya bersama mas Diding selama hampir delapan tahun.

*****

Awalnya, sekitar tahun 1999, Linda yang masih duduk di semester dua di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya mengajukan lamaran ke Departemen Sosial Jawa Timur yang memang waktu itu tengah mencari pekerja sosial (peksos) guna menangani banyaknya anak jalanan di Jawa Timur, khususnya yang ada di Surabaya. Maklum, waktu itu, pasca krisis moneter, cukup banyak pegawai rendahan yang mengalami PHK sehingga semakin memperbanyak munculnya anak jalanan di Surabaya. Ketika diterima, Linda langsung diajukan untuk mengelola rumah singgah LENTERA KASIH untuk menangani anjal di beberapa titik di Surabaya. Awalnya, tugas Linda hanya membantu membuat pemetaan anjal di Surabaya agar diketahui secara statistik. Dalam aktivitasnya tersebut Linda bertemu dengan Diding yang juga ngepos di LENTERA KASIH.

Kesamaan ide dan semangat membuat keduanya berencana untuk lebih meningkatkan program penanganannya terhadap anjal. Menurut Linda dan Diding, anjal itu bukan hanya perlu dipetakan dan diamati selanjutnya dicatat. tapi mereka memerlukan sesuatu yang lebih dari itu. Mereka memerlukan sebuah pengakuan dan penghargaan, serta pemenuhan atas hak-haknya sebagai anak. Linda dan Diding melihat bahwa anjal sama dengan anak-anak lain yang juga memiliki potensi dan kecerdasan. Anjal juga memiliki harapan dan keinginan yang harus dipenuhi.

Program Depsos yang dirasa kurang luwes dalam menangani anjal akhirnya membuat ketidakpuasan di hati kedua aktivis tersebut. Akhirnya keduanya memutuskan untuk menyusun program sendiri. Hingga di tahun 2001 keduanya melepaskan dir dari Departemen Sosial dan berdiri sendiri secara independen. Bukan hal mudah memang.

Keduanya harus berusaha untuk mencukupi sendiri kebutuhan rumah tangga rumah singgah itu sendiri. Tidak jarang, keduanya harus merogoh kantong sendiri untuk operasional usaha. Meskipun, ada juga donasi dari teman-teman sesama mahasiswa. Tapi, berapa sih jumlah donasi mahasiswa perantauan. Beruntung, ada sebuah yayasan yang memberikan uluran tangan dengan memberikan sumbangan beras setiap bulannya.

Kesulitan dana tersebut membuat banyak teman pendamping yang mengundurkan diri. Dari delapan orang yang ikut melakukan pembinaan di rumah singgah, tinggal Diding, Linda, dan Nono. Meskipun demikian, keduanya terus melakukan aktivitasnya. Ketiganya dengan tekun mendampingi anjal dan bahkan ketiganya membentuk kelompok belajar di pinggir jalan, di sebuah emperan bengkel di Jalan Arjuno. Hal itu dilakukan untuk mendekati para anjal yang memang disibukkan oleh pekerjaan mereka. Kegigihan Linda dan Diding, serta Nono membuahkan hasil. Beberapa temannya mulai menunjukkan simpatinya kepada ketiga pembina tersebut dan mulai ada yang bergabung. Dengan bergabungnya para teman sesama mahasiswa tersebut, maka langkah Linda dan Diding semakin mudah.

Para anjal pun mulai berdatangan sendiri ke rumah singgah dan melakukan aktivitas bersama-sama. Apalagi Linda dan Diding benar-benar berperan sebagai pengganti orang tua yang bukan hanya menyediakan tempat tinggal dan makan buat mereka, tapi juga berperan sebagai teman yang siap untuk mendengarkan semua keluhan dan sebagai teman curhat bagi para anjal sehingga para anjal tersebut merasa nyaman.

Awal tahun 2005, jumlah anak-anak yang tinggal di rumah singgah mencapai sekitar 20 orang. Sementara sisanya pulang ke rumah orang tua atau kerabatnya. Total anak binaan yang terdaftar oleh rumah singgah LENTERA KASIH sebanyak 78 anak, termasuk beberapa anak tetangga yang kurang mampu. Rumah singgah seluas 5 x 10 meteran yang disewa sejak tahun 1999 tersebut mulai ramai. Anak-anak juga sudah mulai tumbuh remaja. Linda dan teman-temannya cukup senang menyaksikan perubahan pada anak-anak tersebut, meskipun sempat bingung juga dalam menghadapi perilaku perkembangan remaja yang mulai menunjukkan keunikannya. Apalagi, di antara mereka sudah tidak lagi ada yang mengemis dan mengamen. Mayoritas mereka telah mulai memiliki pekerjaan, ada yang sebagai cleaning service, tukang tambal ban, pedagang asongan, penjaga kios, penyemir sepatu, dan lain-lain. Bahkan, rata-rata telah memiliki tabungan dan sekolah setingkat SLTP dan SLTA. Beberapa di antaranya ada yang kembali ke rumah orang tuanya lagi dan sebagian kembali ke desa. Hanya beberapa anak yang memang baru masuk saja yang masih mengamen dan mengemis.

Hingga di bulan November 2005, Diding memutuskan untuk menikah dan itu adalah berita buruk yang harus diterima oleh Linda. Selama ini, jika pembina telah menikah maka aktivitas di rumah singgah harus ditinggalkan. Apalagi, Diding harus memegang perusahaan Farmasi mertuanya yang baru dibangun di luar pulau, di Manokwari. Sungguh kenyataan yang menyakitkan dan memerihkan hati Linda. Pupus harapan yang selama ini dirajutnya di hati. Keputusasaan mengiringi kehidupan Linda. Perjalanan rumah singgah sudah tidak lagi seperti dulu. Semangat dan ide briliannya yang dulu terpateri di dadanya seolah musnah. Linda hanya bisa terpaku. Linda patah hati.

Dan akhirnya, pada bulan Januari 2006 merupakan awal tahun yang mengenaskan bagi Linda. Kuliahnya kena DO (drop out) dan Linda tidak lagi dapat mempertanggungjawabkan kepercayaan orang tuanya di Medan yang selama ini juga telah menguntai harapan agar Linda dapat pulang dengan membawa gelar kesarjanaannya dari sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di Surabaya. Akan tetapi, Linda terlena dengan program dan rencananya yang idealis untuk mengentas anak-anak jalanan yang selama ini banyak dipandang sebelah mata oleh masyarakat dan bahkan mendapatkan perlakuan yang tidak selayaknya. Hingga akhirnya waktu tiba dan orang tuanya mulai menuntut pertanggungjawabannya selama ini. Tidak mungkin bagi Linda untuk pulang ke Medan dengan tanpa membawa gelar kesarjanaan yang pernah dijanjikannya kepada orang tuanya. Ini karena orang tuanya dulu memang telah tidak menyetujui jika Linda harus melanjutkan kuliah di Surabaya karena di Medan sebenarnya telah banyak perguruan tinggi yang mumpuni bagi Linda. Tapi dengan tekad dan janji yang diberikan, serta harapan yang akan diperoleh dari Surabaya, kedua orang tuanya menyetujui kepergian Linda.

Dalam kegalauan hatinya tersebut, langkah Linda semakin terombang-ambing. Seringkali Linda tercenung sehingga menjadikan para rekan sesama pembinanya harus banyak memberi dukungan. Tapi, Linda seolah telah habis. Hingga akhirnya, tanpa terasa rumah singgah yang dikelola tersebut harus diserahkan kembali kepada empunya rumah karena Linda dan teman-temannya sudah tidak mampu lagi membayar uang sewa rumah. Waktu itu sekitar bulan Juni 2006. Linda dan teman-teman serta para anak jalanan yang selama ini tinggal di rumah singgah tersebut harus pindah ke tempat lain. Tapi di mana? Para pembina itu semuanya adalah mahasiswa perantauan. Ironis memang. Surabaya yang sedemikian besar dengan jumlah penduduk yang sedemikian padat, tapi tidak seorang pun mahasiswanya, pemuda-pemudinya, yang berkenan menjadi pembina relawan di rumah singgah LENTERA KASIH. Ke mana gerangan mereka semua?.

Para pembina itu sempat kebingungan. Jika anak-anak diajak ke tempat kos masing-masing, tentu ibu kosnya tidak ada yang menyetujuinya. Jika dilepaskan, kasihan. Akhirnya, untuk sementara anak-anak tersebut diajak untuk tinggal di pos keamanan di Jalan Tidar. Akan tetapi, itu pun tidak berlangsung lama, hanya dapat bertahan tidak lebih dari satu minggu. Para pembina yang biasanya menemani Linda lama kelamaan melepaskan diri dan tidak kembali lagi. Anak-anak pun mulai jarang pulang ke pos dan lebih menikmati situasi kehidupan di jalanan.

Linda berusaha untuk mendatangi beberapa rumah singgah di Surabaya guna menampung aspirasi dan minatnya dalam mengelola anjal agar dapat menikmati kehidupan sebagaimana anak-anak pada umumnya. Akan tetapi, sebagian besar rumah singgah tersebut memang dikelola oleh yayasan sehingga memiliki keterikatan dengan yayasan tersebut dan program-programnya pun terikat dengan program dari yayasan yang menaunginya. Mulanya, Linda tidak dapat menerima kenyataan seperti itu, tapi, demi kelanjutan pembinaan yang telah dirintisnya, Linda mulai bersedia menerima kondisi tersebut dan mengantarkan anak-anak yang masih mengikutinya.

Linda bahkan tidak merasakan bahwa ternyata penampilannya selama ini tidak lebih baik dari para anak jalanan tersebut. Rambutnya yang selama ini rajin dirawatnya dengan menggunakan ramuan yang dibuatnya sendiri dengan menggunakan aloe vera yang dicampur dengan minyak kemiri sehingga tebal dan mengkilap, kini kusut masai. Mukanya yang dulu masih suka diolesi bedak tipis sudah kusam karena mandi pun tidak lagi dijalani oleh Linda meskipun hanya sekali sehari. Linda hanya mandi jika dia ingat untuk mandi. Baju yang dibawanya telah habis dirombeng untuk kebutuhan makannya dan anak-anak. Perhiasan yang dipakainya telah habis. Tak satu pun yang tersisa. Linda telah menghabiskan semuanya dengan tanpa disadarinya.


*****

Di sebuah rumah singgah di kawasan Keputih, dekat dengan kampus Institut Teknologi 10 November yang megah, Linda terdampar. Linda kelelahan. Hanya satu nyawa yang dimilikinya dan nyawa janin yang di perutnya. Janin yang Linda sendiri tidak tahu siapa ayahnya. Janin yang membuat Linda semakin miris dalam menghadapi kenyataan hidup dan janin yang membuat Linda tidak mungkin lagi untuk pulang ke Medan. Ke tempat nyaman yang telah dirasakannya sejak dalam buaian sampai remaja. Kota Medan yang banyak memberi kedamaian bagi Linda, Kota Medan yang akan menjadi sebuah impian. Entah kapan Linda akan bisa menapkkan kakinya yang ternoda ini.

Janin itu hadir dalam sebuah tragedi ketika Linda yang terseok-seok melangkah dalam lapar haus dan kepenatan yang menusuknya karena mencari rumah singgah yang dirasanya tepat untuk anak-anak. Di malam yang suram dengan hanya diterangi dua tiga bintang karena hari mendung, ditambah gerimis yang tidak henti-hentinya, tiba-tiba ada dua atau tiga pemuda yang tengah mabuk menghadang Linda. Waktu itu di sekitar kawasan Banyuurip yang memang rawan oleh pemabuk. Dengan kekuatan yang sama sekali tidak imbang, Linda hanya dapat merasakan cengkeraman tangan kekar dan kasar dan rasa perih yang tidak terkira. Waktu itu, Linda hanya bisa menangis dan putus asa. Satu yang menguatkan Linda adalah bahwa dirinya tidak boleh meninggalkan anak-anak yang masih setia mengikutinya dan mengharapkan perlindungannya sebelum mereka mendapatkan sarang yang cukup aman.

Karena malu dengan keadaannya Linda memutuskan untuk pergi dari rumah singgah tersebut dan menitipkan anak-anak yang selama ini dibinanya kepada rumah singgah tersebut. Linda pergi menelusuri kota Surabaya yang telah menghabisinya. Dengan langkah gontai Linda meninggalkan rumah singgah tersebut. Tapi, Pardi kecil merengek untuk ikut dengan Linda dan Linda hanya bisa mengiyakan saja. Langkah keduanya sampai lagi di kawasan Banyuurip. Entah kenapa Linda masih kembali ke tempat yang telah memberikan kenangan pahit tersebut. Di kawasan tersebut Linda dan Pardi kecil mangkal.

Pardi kecil yang selalu bersemangat untuk mencari uang dengan tanpa meminta-minta. Pardi kecil yang setiap pagi berpamitan kepada Linda untuk berangkat bekerja, membantu para pedagang di sekitar pasar Kembang dengan upah sekitar lima ribu sampai sepuluh ribu an per hari. Pardi kecil yang penuh semangat untuk menjalani kehidupannya di siang hari dan di malam hari memohon kepada Linda untuk diajari membaca dan menulis. Dan Linda harus berusaha menyembuhkan luka yang akan membekas di sepanjang hidupnya di jalanan

Bersama seorang Pardi kecil.......

Surabaya, 28 Pebruari 2007

(k’rima)

1 comment:

  1. Wow, it is anice short story. Use Indonesia language, jadi langsung mudah dipahami. Tapi bagaimana denga pembaca dari broad.

    ReplyDelete

Tulisan Terbaru